Tuesday, January 4, 2011
Waspadalah....Hindari Obat Palsu, Beli di Tempat Resmi
SETIAP kali obat habis, apakah Anda langsung membuang kemasannya seperti botol dan dus begitu saja ke tempat sampah? Jika iya, apakah pernah terpikir bahwa tindakan itu menjadi mata rantai penyebaran obat palsu? Wah...
"Pembelajaran masyarakat yang paling penting, buanglah kemasan obat dalam keadaan rusak sehingga tidak bisa lagi digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab sebagai kemasan obat palsu," ujar konsultan dan pemerhati bidang obat dan makanan Weddy Mallyan dalam sebuah bincang-bincang mengenai 'Obat Palsu Tanggung Jawab Siapa?' di kantor Sanofi Aventis, belum lama ini.
Ia menambahkan, sampai sekarang obat palsu masih beredar di masyarakat, bahkan cenderung meningkat, sehingga perlu kewaspadaan dari masyarakat untuk mendapatkan obat. "Bisnis obat palsu ini high profit dan low risk. Biasanya dilakukan organisasi kejahatan lintas negara. Di Indonesia hukumannya cuma sedikit. Pidana penjara paling hanya 4 tahun. Tahun 2007 pernah terungkap gudang obat palsu terbesar di Jakarta, tapi yang dihukum cuma penjaga gudangnya, aktornya sampai sekarang tidak ketahuan," kata mantan Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan- BPOM tahun 2001-Mei 2010 ini.
Mengacu pada data badan dunia kesehatan (WHO), estimasi prevalensi obat palsu di negara maju sekitar 1 persen, sementara di negara berkembang 10 persen. Indonesia sendiri belum memiliki data pasti. Secara geografi dan populasi, Indonesia dianggap menarik bagi pemalsu obat. Interaksi dan kepedulian antarinstitusi yang berkaitan dengan pemberantasan obat palsu belum optimal. Belum lagi faktor lain, semisal pendapatan masyarakat masih rendah serta masih sedikit masyarakat yang menggunakan asuransi kesehatan.
Padahal obat bukan komoditas biasa, tapi komoditas khusus. Jika dipalsukan bukan saja merugikan produsennya tapi yang terpenting mengancam jiwa manusia. Lalu obat mana yang paling banyak dipalsukan? Dari pengamatan Weddy justru obat keras (harus dengan resep dokter, berlambang lingkaran merah) yang dipalsukan. Ini karena banyaknya permintaan masyarakat akan obat tersebut.
"Biasanya untuk mendapatkan obat resep dokter harus ke dokter dulu lagi. Karena harus mengeluarkan biaya lagi, akhirnya pergi ke toko obat yang menjual tidak harus resep dokter. Demand-nya ada, dan inilah celah masuknya obat palsu," ujar Weddy.
Obat palsu ini pun dijual dengan harga yang tidak terlalu jauh berbeda dengan harga obat yang asli. "Para pemalsu juga pintar kalau harganya terlalu rendah jadi ketahuan bahwa obat yang dijual palsu," kata dosen Fakultas MIPA jurusan Farmasi ISTN ini.
Selain obat keras, obat-obat fast moving (yang sering diiklankan) seperti antibiotika, antiparasit, analgesik, antipiretik, antihipertensi, antidiabet juga dipalsukan. Begitu pula dengan obat mahal dan obat-obat lifestyle seperti disfungsi ereksi, anti kolesterol, dan obat pelangsing.
Sulit dibedakan
Secara kasat mata sulit untuk membedakan mana obat palsu dan mana yang asli. Jika hanya dilihat dari kemasan dan tampilan, biasanya sama. Karena beberapa modus pembuatan yang digunakan dengan meniru kemasan dan penandaan produk yang dipalsukan, proses importasi secara ilegal melalui pelabuhan bebas atau daerah perbatasan, tidak selalu dalam bentuk obat jadi tetapi dalam bentuk terpisah (produk, kemasan, dan leaflet dimasukkan secara terpisah).
"Obat palsu beredar karena ada yang ditiru. Obat apapun, secanggih apapun, bisa dipalsukan. Di Indonesia pemalsuan obat tidak pernah tertangkap dan terungkap aktornya," katanya. Ketika produsen obat menerapkan adanya hologram misalnya, pembuat obat palsu itupun bisa mengikuti teknologinya. Untuk memutus rantai peredaran obat palsu, ia meminta agar masyarakat membeli di obat di tempat resmi terutama di apotek. Di sana, segala obat yang dijual akan terdata dan memiliki dokumen resmi.
Pilih apotek yang memiliki nama apotek, nama apotekernya, dan nomor izin yang jelas. Jika bukan di apotek tapi di toko obat, pilih yang tertulis: toko obat berizin dan tidak menerima resep dokter. "Walaupun berizin, toko obat tetap tidak bisa menjual obat dengan label merah (resep dokter)," katanya lagi.
Pengalaman Warta Kota, toko obat ini biasanya tidak memajang obat dengan label merah di depan, tapi jika ada permintaan baru diambil dari lemari belakang
Wartakota
Label:
Kejahatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment