Sebuah penelitian menemukan, 1 dari 3 kemasan teh herbal mengandung campuran yang tidak diinginkan misalnya rumput-rumputan dan ranting tanaman lain. Meski tidak beracun, pada sebagian orang cemaran tersebut bisa memicu reaksi alergi.
Teh herbal memang sering ditambahi daun atau bagian dari tanaman tertentu selain teh, lalu diberi nama sesuai tambahannya misalnya teh melati atau teh chamomile. Namun dalam sebuah penelitian di New York, seringkali campuran teh herbal lebih banyak dari yang tertera pada namanya.
Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah anak SMA ini menemukan, 3 dari 70 kemasan teh mengandung campuran yang tidak disebutkan dalam nama maupun labelnya. Campuran yang tidak diinginkan itu antara lain pakis, rumput, gulma, benalu dan bahkan tanaman hias.
Sementara dari kelompok teh herbal, 21 dari 60 atau kurang lebih 33 persen tercampur herbal lain yang juga tidak disebutkan dalam nama maupun label kemasannya. Sebagai contoh, para siswa menemukan banyak teh tercemar herbal chamomile meski namanya bukan teh chamomile.
"Saya pikir tidak ada cemaran yang benar-benar berbahaya, namun seperti chamomile misalnya, diketahui bisa memicu alergi pada beberapa orang sehingga kandungan ini harus dicantumkan," ungkap Cactherine Gamble, 18 tahun, dari Trinity School seperti dikutip dari Reuters, Jumat (22/7/2011).
Puluhan sampel teh herbal yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh 33 pabrik yang berbeda dan berasal dari sekiar 17 negara. Sayangnya, penelitian ini tidak menyebutkan secara rinci merek dan asal sampel yang tercemar dan berpotensi memicu alergi.
Mark Stoeckle, ilmuwan dari Rockefeller University yang mendampingi penelitian ini menganjurkan badan pengawas untuk lebih ketat memeriksa kandungan teh herbal. Apalagi pemeriksaan kode DNA (Deoxuribo Nucleic Acid) seperti yang dilakukan anak-anak SMA ini biayanya tidak mahal, hanya US$ 15/sampel atau sekitar Rp 128 ribu.
"Kadang-kadang perusahaan sengaja mencampurkan tanaman lain seperti chamomile untuk memperbaiki rasa dan warna, atau tanaman lain yang tidak berkhasiat sekedar untuk menjadikannya tampak lebih banyak," ungkap Stoeckle yang melaporkan hasil penelitian anak-anak SMA ini dalam jurnal Scientific Reports.
Teh herbal memang sering ditambahi daun atau bagian dari tanaman tertentu selain teh, lalu diberi nama sesuai tambahannya misalnya teh melati atau teh chamomile. Namun dalam sebuah penelitian di New York, seringkali campuran teh herbal lebih banyak dari yang tertera pada namanya.
Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah anak SMA ini menemukan, 3 dari 70 kemasan teh mengandung campuran yang tidak disebutkan dalam nama maupun labelnya. Campuran yang tidak diinginkan itu antara lain pakis, rumput, gulma, benalu dan bahkan tanaman hias.
Sementara dari kelompok teh herbal, 21 dari 60 atau kurang lebih 33 persen tercampur herbal lain yang juga tidak disebutkan dalam nama maupun label kemasannya. Sebagai contoh, para siswa menemukan banyak teh tercemar herbal chamomile meski namanya bukan teh chamomile.
"Saya pikir tidak ada cemaran yang benar-benar berbahaya, namun seperti chamomile misalnya, diketahui bisa memicu alergi pada beberapa orang sehingga kandungan ini harus dicantumkan," ungkap Cactherine Gamble, 18 tahun, dari Trinity School seperti dikutip dari Reuters, Jumat (22/7/2011).
Puluhan sampel teh herbal yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh 33 pabrik yang berbeda dan berasal dari sekiar 17 negara. Sayangnya, penelitian ini tidak menyebutkan secara rinci merek dan asal sampel yang tercemar dan berpotensi memicu alergi.
Mark Stoeckle, ilmuwan dari Rockefeller University yang mendampingi penelitian ini menganjurkan badan pengawas untuk lebih ketat memeriksa kandungan teh herbal. Apalagi pemeriksaan kode DNA (Deoxuribo Nucleic Acid) seperti yang dilakukan anak-anak SMA ini biayanya tidak mahal, hanya US$ 15/sampel atau sekitar Rp 128 ribu.
"Kadang-kadang perusahaan sengaja mencampurkan tanaman lain seperti chamomile untuk memperbaiki rasa dan warna, atau tanaman lain yang tidak berkhasiat sekedar untuk menjadikannya tampak lebih banyak," ungkap Stoeckle yang melaporkan hasil penelitian anak-anak SMA ini dalam jurnal Scientific Reports.
Sumber : detik