Salah satu isi dan kandungan Al-Qur’an adalah yang berkaitan dengan kisah atau sejarah. Hampir pada setiap surat terdapat kisah-kisah yang menggambarkan seseorang yang sukses dan selamat atau sebaliknya, seseorang yang menderita dan celaka dalam hidupnya. Dikisahkan pula sebuah keluarga yang sukses yang melahirkan anak keturunan yang shaleh, dan juga keluarga yang rusak yang tidak terbina dan terurus, yang menyebabkan rusak kehidupan dan masa depannya. Terdapat pula kisah suatu kaum yang selamat dan sejahtera dunia dan akhirat, sebaliknya terdapat pula kaum yang celaka di dunia dan di akhirat. Bahkan ada satu surat yang diberi nama surat kisah-kisah, yaitu surat nomor ke-28 yang bernama surat al-Qashash.
Ada berbagai tujuan diungkapkannya berbagai macam kisah tersebut dalam Al-Qur’an, yaitu disamping untuk membuktikan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, bukan ucapan atau perkataan Nabi seperti dituduhkan oleh kalangan orang-orang yang mengingkarinya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS. Ali Imran ketika mengisahkan siapa yang berhak mengurus Siti Maryam ayat 44:
“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (QS. Ali Imran: 44).
Juga ketika mengisahkan pertemuan kembali antara Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, yang berlaku dzalim kepadanya yang telah berpisah dalam kurun waktu yang cukup lama, seperti dikisahkan dalam QS. Yusuf ayat 102-103:
“Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya (102) Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman –walaupun kamu sangat menginginkannya (103).” (QS. Yusuf: 102-103).
Kisah tersebut dijadikan pula sebagai ibroh, pelajaran atau nasihat bagi orang-orang yang mau memikirkannya. Hal ini seperti dikemukakan dalam QS. Yusuf ayat 111.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111).
Kisah-kisah ini pun diharapkan akan menyebabkan orang-orang mengikuti perilaku, tradisi, dan kebiasaan umat terdahulu yang baik, dan menjauhkan dari perbuatan dan tradisi yang merusak, seperti dinyatakan dalam QS. Ali Imran ayat 137-138 dan QS. Ghafir ayat 82-83.
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) (137) (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (138).” (QS. Ali Imran: 137-138).
“Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka (82) Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu (83).” (QS. Ghafir/Al-Mukmin: 82-83).
Kisah ini pun ditujukan untuk memperkuat keyakinan orang-orang yang beriman untuk memperjuangkan kebenaran dari Allah, karena setiap penegak kebenaran pasti akan mendapatkan pertolongan dari Allah.
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 103).
Kisah ini pun dimaksudkan untuk memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya peristiwa yang terjadi di dunia ini sesungguhnya berulang-ulang dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Esensi dan substansinya sama, meskipun faktor waktu dan lingkungannya yang berbeda. Sebaagimana didustakannya para rasul oleh kaumnya yang membangkang, yang berlangsung dari sejak rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 184.
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), mereka membawa mu`jizat-mu`jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (QS. Ali Imran: 184).
A. Ketakaburan Dan Kesombongan
Kesombongan maupun ketakabburan adalah salah satu sifat buruk yang banyak diungkapkan dalam kisah-kisah Al-Qur’an yang menjadi penyebab utama kehancuran seseorang atau suatu bangsa, betapapun mereka memiliki kekuasaan dan kedudukan yang kuat, harta yang melimpah, atau anak keturunan maupun pengikut yang banyak, serta fishik jasmani maupun teknologi yang tangguh. Beberapa contoh dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, Kaum ‘Aad, kaum Tsamud dan kaum Fir’aun seperti dikisahkan dalam QS. Al-Fajr ayat 6-13.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (6) (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi (7) Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain (8) Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah (9) Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak) (10) Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri (11) Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu (12) Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (13).” (QS. Al-Fajr: 6-13).
Kaum ‘Aad memiliki kemampuan mendirikan bangunan-bangunan yang tinggi yang tidak pernah ada bangunan sebelumnya sehebat bangunan mereka. Kaum Tsamud memiliki kemampuan membangun bunker-bunker di bawah gunung batu dengan kekuatan fhisik dan teknologinya; dan Fir’aun memiliki kekuasaan yang begitu kuat, akan tetapi karena kesombongan dan ketakabburannya, yang menyebabkan mereka tidak mau melakukan pengabdian kepada Allah SWT, akhirnya kehancuran dan kebinasaan yang mereka alami.
Kedua, Khusus untuk Fir’aun, puncak kesombongannya adalah pada pengakuan dirinya sebagai TUHAN yang patut disembah, bukan Tuhannya Musa dan Harun. Allah mengisahkan peristiwa ini dalam QS. An-Nazi’at ayat 17-25:
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (17) Dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”(18) Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”(19) Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mu’jizat yang besar (20) Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai (21) Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa) (22) Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya (23) (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (24) Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia (25).” (QS. An-Nazi’at: 17-25).
Sikapnya tersebut menghantarkan kepada pelecehan dan merendahkan martabat para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya. Hal ini ditegaskan pada firman-Nya dalam QS. Al-Mukminun ayat 45-48.
“Kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) Kami, dan bukti yang nyata (45) Kepada Fir`aun dan pembesar-pembesar kaumnya, maka mereka ini takabur dan mereka adalah orang-orang yang sombong (46) Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”(47) Maka (tetaplah) mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan (48).” (QS. Al-Mukminun: 45-48).
Salah satu teknik Fir’aun untuk mempertahankan kekuasaan yang dilandasi kesombongan dan ketakaburan itu adalah dengan cara mengadu-domba satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya, atau yang disebut dengan “politk belah bambu”, mengangkat satu kelompok dan merendahkan kelompok yang lainnya. Hal ini seperti digambarkan dalam QS. Al-Qashash ayat 4:
“Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 4).
Akan tetapi, ujung dari kesombongan Fir’aun itu disamping hancurnya dia dan pengikutnya, juga bangkitnya kelompok mustad’afin untuk memimpin bangsa dan Negara saat itu. Pengalaman mereka dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan menyebabkan kekuatan jiwa yang tak terkalahkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Qashash ayat 5:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al-Qashash: 5).
Kisah ini mengisyaratkan betapa rakyat jelata dan masyarakat dhu’afa yang tertindas sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Pantaslah kalau Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu berfikir dan bertindak serta melakukan berbagai macam program yang berpihak kepada mereka, seperti memuliakan anak yatim dan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan orang-orang yang miskin. Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al-Balad ayat 11-18:
“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? (11) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (12) (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (13) Atau memberi makan pada hari kelaparan (14) (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15) Atau orang miskin yang sangat fakir (16) Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih saying (17) Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan (18).” (QS. Al-Balad: 11-18).
B. Penyebab Kesombongan
Ada beberapa hal yang diungkapkan Al-Qur’an yang dianggap menjadi penyebab dari kesombongan dan ketakaburan. Pertama, Merasa lebih baik dari yang lain karena asal-usul penciptaan maupun asal-usul kesukuan. Seperti kesombongan yang diperlihatkan Iblis yang menyebabkan dia tidak mau sujud menghormat kepada Nabi Adam AS. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam QS. Al-A’raf ayat 11-13.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (11) Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (12) Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina” (13).” (QS. Al-A’raf: 11-13).
Kedua, Karena memiliki kekayaan atau materi yang melimpah ruah yang jauh berbeda dengan kekayaan yang dimiliki oleh lingkungannya pada saat tersebut. Seperti pernah terjadi pada Qarun yang kunci-kunci gudang kekayaannya tidak bisa dipikul oleh orang-orang yang kuat dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga Qarun sombong dan takabur tidak pernah mau menerima nasihat dari siapa pun, tetapi ujung kehidupannya adalah dibenamkan oleh Allah SWT dalam bumi. Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al-Qashash ayat 76-81.
“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri” (76) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (77) Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka (78) Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar” (79) Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar” (80) Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya) (81).” (QS. Al-Qashash: 76-81).
Ketiga, Kekuasaan. Kesombongan pun bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat, yang menyebabkan semua orang tunduk padanya. Seperti yang terjadi pada Fir’aun yang jikalau ada orang-orang yang beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Harun harus selalu melalui izinnya, karena dianggap merendahkan kekuasaannya. Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al-A’raf ayat 123-125.
“Fir`aun berkata: “Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu?, sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini) (123) Sungguh aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya (124) Ahli-ahli sihir itu menjawab: “Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali (125).” (QS. Al-A’raf: 123-125).
Keempat, Kedekatan dengan lingkaran kekuasaan yang menyebabkan mendapatkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan, sehingga setiap perubahan yang bertujuan untuk kebaikan selalu dihambatnya. Kelompok orang semacam ini di dalam Al-Qur’an disebut dengan AL-MALA’ yang selalu menghambat da’wah para rasul. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS. Al-A’raf ayat 88.
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu`aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu`aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”. Berkata Syu`aib: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” (QS. Al-A’raf: 88).
Kelima, Ilmu pengetahuan kadangkala menyebabkan kesombongan kalau dijadikan alat untuk menentang dan mempermainkan ayat-ayat Allah SWT. Seperti kisah Hamman yang dengan ilmu pengetahuannya mampu membangun bangunan yang tinggi untuk melihat Allah SWT (dalam nada memperolok-olok). Hal ini sebagaimana digambarkan dalam QS. Al-Mukmin ayat 35-37.
“(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang (35) Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu (36) (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian (37).” (QS. Al-Mukmin/Ghafir: 35-37).
- C. Penutup
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.” (QS. Al-A’raf: 40).
Karena itu, Rasulullah Saw. berpesan kepada kita untuk menjauhi 3 (tiga) sifat buruk yang merupakan sumber malapetaka dan sumber kejahatan, yang salah satunya adalah sifat takabbur dan sombong. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir, Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian sifat sombong, karena sesungguhnya Iblis tidak mau sujud kepada Adam dikarenakan terdorong oleh sifat sombong. Jauhilah oleh kalian sifat rakus, sebab karena sifat rakuslah Adam mau memakan buah pohon terlarang (khuldi). Dan jauhilah oleh kalian sifat dengki (hasud), sebab karena sifat dengki inilah seorang diantara anak Adam (manusia) membunuh saudaranya. Semua sifat tersebut adalah sumber dari segala perbuatan dosa.” (HR. Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Mas’ud).
oleh: KH. Didin Hafiduddin
No comments:
Post a Comment